Pers dan Tantangan di Era Digitalisasi

Diupdate pada 7 April, 2024 11:55

foto : Dr. Suriyanto PD, SH, MH, M.Kn

Jakarta-Borneoindonesianews.com,-Catatan Dr. Suriyanto Pd, SH., MH., M,Kn
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyebut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada waktu lahir tidak mengenal pendaftaran bagi perusahaan pers. Menurut Ninik, setiap orang dapat mendirikan perusahaan pers dan menjalankan tugas jurnalistik tanpa harus mendaftar ke lembaga mana pun, termasuk ke Dewan Pers
Ninik mengatakan, setiap perusahaan pers, sepanjang memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia dan menjalankan tugas jurnalistik secara teratur, dapat disebut sebagai perusahaan pers meski belum terdata di Dewan Pers.
Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Sementara itu, dalam Pasal 15 ayat 2 (huruf g) Undang-Undang Pers, tugas Dewan Pers adalah mendata perusahaan pers.
Pendapat senada, disampaikan Kamsul Hasan, Ahli Pers Dewan Pers dan Ketua Bidang Kompetensi Wartawan di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat mengatakan, Uji Kompetensi Wartawan (UKW) bukanlah syarat bagi seseorang untuk menjadi wartawan di Indonesia.
Kamsul menegaskan, UKW bukanlah perintah dan atau amanat dari Undang-Undang Pokok Pers. UKW adalah Peraturan Dewan Pers
Sekali lagi, kata Kamsul,  UKW bukanlah syarat bagi seseorang untuk menjadi wartawan di Indonesia. Pertanyaannya, lanjut Kamsul, apakah para wartawan yang sudah lulus UKW menjadi jaminan bagi kualitas produk jurnalistik yang mereka hasilkan?
Kamsul mengungkapkan, dalam praktiknya, banyak wartawan yang sudah lulus UKW, tapi kualitas produk jurnalistik mereka, rendah. Sebaliknya, cukup banyak wartawan yang belum ikut UKW, tapi produk jurnalistik mereka benar-benar berkualitas.
Kamsul Hasan menduga, kebijakan sejumlah lembaga pemerintah yang menolak bekerjasama dengan wartawan yang belum UKW, semata-mata hanya karena mereka ingin membatasi jumlah wartawan yang terlibat di kegiatan mereka.
Pendapat dua tokoh pers nasional tersebut, menjadi angin sejuk bagi perusahaan pers dan jurnalis yang selama ini terbelenggu oleh aturan yang hanya mengakomodir kepentingan tertentu saja. Pandangan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dan Kamsul Hasan, merupakan lompatan yang visioner, untuk menumbuh kembangkan kehidupan pers di tanah air.
Selama ini media yang belum terdaftar di Dewan Pers maupun wartawan yang belum mengikuti UKW, sering dijadikan olok-olok sebagai media dan wartawan abal-abal, sehingga pemerintah daerah enggan bekerja sama. Dengan pernyataan Ketua Dewan Pers tersebut, hendaknya Pemerintah Daerah tidak lagi membuat sekat-sekat yang memberangus pertumbuhan pers itu sendiri
Yang patut dicermati saat ini, tantangan pers ke depan adalah kecepatan mentransmisikan konten digital sesuai ekspektasi audiens; antisipasi penyebaran disinformasi, misinformasi dan malinformasi yang makin marak; dan pergeseran sumber pemberitaan yang diakses oleh masyarakat. Olehnya itu, profesionalisme wartawan sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan era digitalisasi.
Kebebasan pers yang telah berkembang sangat pesat di Indonesia diharapkan bisa diimbangi dengan tanggung jawab menghasilkan konten yang sesuai etika dan norma budaya bangsa.
Kemajuan digital mendorong audiens secara perlahan bergeser lebih banyak mengakses media digital dibandingkan media konvensional sebagai sumber pemberitaan.
Tren berita clickbait sarat sensasi yang marak terjadi di media online diharapkan menjadi perhatian insan pers untuk menjadikan ruang digital nasional bersih dan bermanfaat. Itu yang harus diperhatikan, ditangani, agar ruang digital menjadi bersih dan bermanfaat bagi pengguna, termasuk pers, jurnalis, jurnalisme, dan media.
Mengutip Reuters Institut Digital News Report 2023, media online menjadi sumber yang paling banyak diakses masyarakat Indonesia. Angka mencapai 88 persen, termasuk media sosial 68 persen. Sedangkan media konvensional televisi sekitar 57 persen dan media cetak berada di titik paling bawah yakni 17 persen.
Terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi media pers dan jurnalisme memiliki peran yang sangat krusial dalam mengatasi persoalan, baik global maupun nasional tentunya. Kita tidak perlu berkutat pada persoalan media harus terverifikasi dan wartawan harus mengikuti UKW baru bisa bekerjasama dengan institusi pemerintahan.
UKW hanya sebatas legalitas dan syarat administratif yang menyatakan wartawan tersebut profesional. Namun bukan berarti wartawan yang sudah bersertifikasi UKW lebih bagus dari wartawan yang belum mendapatkan sertifikasi UKW, tidak ada yang bisa menjamin itu, banyak kasus wartawan yang sudah lulus uji kompetensi justru terjerat kasus pelanggaran kode etik jurnalistik.
Selama ini banyak pernyataan yang beredar yang menyudutkan teman-teman wartawan yang belum lulus uji kompetensi kewartawanan yang mengatakan bahwa UKW adalah yang membedakan antara wartawan profesional dan abal-abal dan bodrex.
Itu sebuah pernyataan yang tidak jelas referensinya, karena kenyataaan di lapangan ada wartawan yang sudah punya UKW tidak lebih baik dari pada wartawan yang belum punya UKW.
Pernyataan tersebut tidak tepat dan dapat menyinggung profesi sebagian besar wartawan yang belum ber UKW. Alangkah baiknya lembaga atau orang-orang yang sudah punya UKW memberikan semangat dan motivasi kepada teman-teman yang belum punya UKW agar mau ikut uji kompetensi kewartawanan, bukan malah menyudutkan.
Sudah seharusnya lembaga-lembaga kewartawanan dan teman-teman yang sudah punya UKW menunjukkan kiprah dan perannya, bukan malah menuding dan melakukan penghakiman sepihak terhadap profesi wartawan yang belum memiliki UKW.
(Ketua Umum DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia).

(Jailani/Redaktur Eksekutif)
Editor Utama ; Robet T. Silun

Bagikan via:

Berita Milik BorneoIndonesiaNews