Diupdate pada 31 Agustus, 2025 9:23
Catatan : Robet T. Silun
JAKARTA-Borneoindonesianews.com,-
Gelombang aksi mahasiswa dan rakyat adalah wujud nyata dari kemuakan yang sudah lama dipendam. Para pejabat yang mestinya menjadi teladan justru sibuk berjoget, membuat parodi, hingga melontarkan kata-kata yang menyakiti hati rakyat. Maka wajar bila kegeraman itu meledak. Wajar bila jalanan dipenuhi mahasiswa yang berteriak lantang. Itu adalah suara nurani bangsa.
Namun tiba-tiba, arah perjuangan itu bergeser ke jalur yang tak seharusnya. Rumah-rumah anggota dewan, artis, hingga pejabat menjadi sasaran penjarahan. Jam tangan mewah bernilai miliaran, pakaian dalam hingga peralatan elektronik raib tak tersisa. Ironisnya, semua itu terjadi diiringi takbir dan sholawat seolah kejahatan berubah menjadi suci hanya karena dibungkus simbol agama.
Mahasiswa membakar, ya. Mereka merusak, ya. Tapi mereka tidak menjarah. Maka jelas ada tangan-tangan lain yang menunggangi amarah rakyat. Dan ketika penjarahan ini dipertontonkan, siapa yang sesungguhnya diuntungkan? Para elit yang selama ini jadi sasaran kritik justru mendapat pembenaran untuk menyebut gerakan rakyat sebagai brutal, liar, dan kehilangan moral.
Arah perjuangan rakyat tidak boleh diputarbalikkan. Gerakan mahasiswa adalah suara murni yang harus dijaga. Sebab jika perjuangan dibiaskan menjadi ajang merampas harta, maka esok hari rakyat sendiri akan kehilangan martabatnya.
Dan di sinilah satir terbesar bangsa ini: dari kursi parlemen yang dijadikan arena joget, sampai rumah-rumah mewah yang dijadikan pesta penjarahan. Rakyat marah itu sah. Tapi jika kemarahan berubah menjadi keserakahan, maka sejatinya yang berpesta bukan rakyat melainkan para penunggang di balik layar.
(REDAKSI)






